|
Peta Banyuwangi |
|
Banyuwangi sebuah kota yang terletak di bagian timur pulau jawa ini terletak diantara
Tari Gandrung, atau biasa disebut saja dengan Gandrung Banyuwangi adalah salah satu tarian tradisional Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pulalah, Banyuwangi juga di juluki sebagai Kota Gandrung, dan terdapat beberapa patung penari gandrung di setiap sudut kota.
Menurut asal muasalnya, tarian ini berkisah tentang terpesonanya masyarakat Blambangan kepada Dewi padi, Dewi Sri yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju.
berikut adalah SEJARAH YANG ADA DI BALIK MISTERI TARI GANDRUNG
Dengarlah dia menyanyikan gendingnya, “Cengkir Gading”dan menggerakan kipasnya,
lalu rakyat Blambangan yang dewasa dan masih anak-anak mengalir ke suatu tempat dan
di luar kesadaran mereka riwayat yang telah lampau diproyeksikan kembali,
irama yang gembira dari tarian Ciwa di Chidambaram, tariannya si Gandri di Cungking,
pusat dari segala-galanya, yakni dalam hati manusia. (Gandroeng Van Banjoewangi, John Scholte, 1927)
Seperti saya tulis , pada tulisan Siapakah leluhur orang Banyuwangi/Apakah wangsa Arya leluhur orang Banyuwangi, bahwa saya terkejut ketika dalam pementasan karya tari bapak Dedy Luthan pada Maret 1990”Kadung Dadi Gandrung Wis “, membawa para penabuh /nayaga dan gandrung dari Cungking yang berwajah mongolid, padahal yang diperkenalkan ayah, mbak perempuan , Kakek Lilir ( mbak lanang), orang Blambangan lebih berwajah Arya, maka dalam tulisan ini saya ingin mencapaikan hasil pelacakan saya mengenai rumpun Mongolid tersebut..
Apakah ada hubungan Cungking Banyuwangi dengan China
Dalam catatan sejarah , rumpun Mongolid telah datang ke Swarnadwipa sejak sebelum abad ke 7( Prof DR. Slamet Mulyana; Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya ) kemudian disusul penyerbuan Kubilai Khan ke Singosari, adanya hubungan yang erat pada masa Sriwijaya ,dan kunjungan resmi utusan dynasti Ming ( Laksamana Cheng Ho) pada masa Majapahit, dan tentu imigrasi besar2an pada masa penjajahaan Belanda.
Tetapi masuknya rumpun Mongolid /China ke Blambangan secara besar2an, dimulai dari keterlibatan armada Cheng Ho dalam perang Paregreg dan zaman penjajahan Belanda dan Inggris.
Pada zaman penjajahan Belanda rumpun China di satukan dalam satu daerah yang kemudian kita kenal dengan Pecinan. Karena desa Cungking berada diluar Pecinan maka saya kemudian mengkonsentrasikan pada kedatangan armada Laksamana Cheng Ho.
Armada raksasa Laksamana Cheng Ho adalah armada muhibah Dynasti Ming keseluruh Asia, tepi timur Afrika , untuk misi diplomatik dan perdagangan sekaligus mengabarkan tentang direbutnya kekuasaan dari Mongol oleh Dynasti Ming.
Pada saat armada raksasa ini sampai di wilayah kerajaan Majapahit, Majapahit telah mengalami Sandya Kala/ mulai melemah, dan mulai bermunculan kerajaan2 kecil di Swarna Bumi dan,kerajaan Blambangan muncul sebagai kekuatan baru di Swarnadwipa . Dengan adanya perkembangan tersebut armada Cheng Ho di pecah menjadi dua, satu tetap menuju Majapahit (Kedaton Kulon) ,satu lagi menuju Blambangan ( Majapahit kedaton wetan).
Ketika armada Cheng Ho menuju Blambangan , amarah Majapahit tersulut, Majapahit berprasangka Laksamana Cheng Ho mendukung Blambangan untuk menghancurkan Majapahit ( Prasangka tersebut sangat wajar karena ketika R.Wijaya mendirikan Majapahit telah menghancurkan tentara Kubilai Khan yang diutus menundukan Singasari)
Oleh karena itu Dewi Suhita ( Prabu Majapahit) segera mengirim kekuatan tempur ke Blambangan dipimpin Bhre Narapati. Dalam penyergapan pada armada Laksamana Cheng Ho yang menuju Blambangann, pasukan Majapahit telah membunuh lebih dari setengah utusan dari armada Cheng Ho ,dan sisanya melarikan diri ke hutan hutan di Banyuwangi. Oleh karena itu saya berpendapat sisa armada Laksamana Cheng Ho yang melarikan diri kepedalaman Blambangan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal wajah Mongolid orang Cungking.
(Karena tindakannya ini, akhirnya Majapahit harus menelan pil pahit,, Majapahit harus membayar denda dan upeti yang sangat besar pada Dynasty Ming dan karena kesalahan memenggal kepala Bhree Wirabhumi raja Blambangan ( putra dari selir Hayamwuruk jelmaan Dewa Siwa ), maka kepala Bhree Narapatipun di penggal.( Cerita lengkapnya di Apakah wangsa Arya leluhur orang Banyuwangi http://padangulan .wordpress)
Sayu Gringsing
S0FYAN subari , penari dan koreografer , yang telah menari di Perancis
Mengapa Cungking.?
Chungking di Main land China bagian Selatan saat ini adalah salah satu kota modern di China dan dari kota Chung King ini pula kemudian ras Mongolid dari main land dikenal sebagai bangsa China .
Chung King didirikan oleh dynasti Ming pada abad ke 14 masehi ,merupakan ibukota kerajaan untuk menggantikan ibukota yang biasanya berada di belahan utara , sebagai usaha untuk menghindari serangan pasukan Mongol.
Sebagai kerajaan baru yang maju pesat, dynasti Ming mengirim misi muhibah raksasa yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, maka sudah sewajarnya rombongan armada tsb menyatakan dirinya sebagai orang Chung King karena sebutan China belum muncul. Maka sisa armada Laksamana Cheng Ho yang menetap di pedalaman Banyuwangi kemudian membangun desa Cungking.
Orang Blambangan menerima dengan baik kehadiran mereka, karena mereka setidaknya pernah bersama orang Blambangan melawan gempuran Majapahit.
Kehadiran dan keterlibatan mereka di Banyuwangi diungkap oleh resident Belanda Van Wiekerman , diabad ke delapan belas, yang dalam sebuah suratnya mengemukakan keberadaan bekas istana Tawangalun. Istana Tawangalun menurut dia dibangun oleh arsitektur China, memiliki panjang 4.5km,tinggi 12 kaki, tebal 6 kaki dan peranan mereka juga nampak dalam perang dahsyat Wong Agung Wilis ( sedang dipersiapkanTulisan” AKHIR PERANG DAHSYAT WONG AGUNG WILIS , APAKAH PUPUTAN BAYU. ATAU DESOLATING SYSTEM ATAU GENOCIDE”?
Mystery Gandrung Cungking Banyuwangi.
Gandrung tidak mungkin dipisahkan dengan Cungking, karena didesa inilah asal mula Gandrung di Banyuwangi.Oleh karena itu sangat menarik mempelajari kehadiran Gandrung desa Cungking ini.Keberadaan Gandrung banyak menarik perhatian sejarahwan maupun budayawan dan beliau memberikan hypothesa asal mula gandrung, ada yang menyatakan berasal dari pertunjukan di zaman Majapahit, ada yang menyatakan berasal dari ritual Seblang , ada yang membahas dari namanya dll.
Ketika saya mempelajari Gandrung saya mendapatkan fakta fakta yang menggelitik untuk dicarikan rujukan yang memadai.Inilah fakta tersebut.
1.Sebuah buku yang diterbitkan Dit Jen Nilai Budaya Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang diprakarsai Dir.Jen Prof DR Edi Sedyawati, dan Pelaksana Prof DR Sri Hastanto mengiringi volume 7 Tradisi Musik Nusantara khusus tentang Gandrung Banyuwangi menulis sbb;
• Walaupun kini telah banyak berubah ,namun sisa sisa wajah ritual itu masih sering terlihat. Misalnya dengan gerak tari yang “aneh”.Kadang kadang gerak demikian tidak sesuai dengan dandanan dan kecantikan serta, karakteristik penari.(hal 66)
• Ketika sedang menghias diri sendiri…..ditulis sbb: Itu semua dilakukan dengan ikhlas dan riang gembira,jauh dari sikap manja yang sering dilakukan oleh para artis……Ketika ditanya tentang sikap tersebut mereka menjawab:INI ADALAH IBADAH( hal 68)
2. Seniman dan Koreografer Nasional Deddy Luthan , dalam booklet Kadung dadi Gandrung Wis suatu pembahasan yang komfrehensif , menolak asal usul gandrung dari Seblang , dan menyatakan pembahasan yang ada sekarang tidak menyentuh essensi keberadaan Gandrung. Disamping itu beliau mengungkapkan bahwa kesenian Gandrung penuh mystery dan banyak sekali yang berunsur ritual.dan Inilah petikan tulisan beliau.
• Sewaktu melagukan puisi delapan bait, baik dibabak pertama maupun babak Seblang .Gandrung tidak menari sebagaimana layaknya namun yang disuguhkan berupa” pantomin” serta hanya diiringi oleh alat musik pembawa melodi ,seperti biola……..dan ketika biola belum digunakan ,….melodi tersebut didendangkan melalui mulut.( tahun 1939) hal 14
• Pada umumnya para pengamat kesenian ini pendapatnya tidak jauh berbeda dengan Joh Scholte ( penulis Belanda yang menulis “ Gandroeng Van Banyuwangi)bahwa sastra ( Syair)yang dibawa gandrung bersifat erotik………Mengomentari pendapat ini,beliau menulis bahwa hal tersebut tidak benar …bagaimana bisa mengatakan tergolong erotis mengingat untuk bisa mengerti maksudnya (Syair yg dinyanyikan dalam Seblang )saja sedemikian sulit”(hal 17). Bapak Dedy Luthan mencoba memberi contoh bagaimana sulitnya memahami dan menterjemahkan Sekar Jenang (nyanyian dalam Seblang) .Penulis juga mencoba melacaknya , syair yang dinyanyikan Gandrung pada saat Seblang dengan menggunakan Kamus Bahasa Osing ,karya Hasan Ali, tetapi hasilnyapun sama………artinya sulit memahami syair tersebut. Pada hal 19 beliau menanggapi penulis yang menyatakan nyanyian pada babak kedua(Paju) tidak mengarah dan tidak berbobot. Beliau membantah .Pada hal pada masa lampau pantun pantun yang memadati gending yang diminta pemaju sangat besar artinya untuk memberi ; pengarahan ,peringatan,nasehat yang menyangkut kegiatan sehari hari pada masyarakat, baik mengenai cinta kasih, rumah tangga, pertanian, pendidikan, agama dsbnya.
3.Pakaian gandrung yang formal yang disertai mahkota menurut penulis juga menimbulkan pertanyaan besar ,mengingat pakaian semacam itu juga tidak ditemui pada penari penghibur sepert Ronggeng ,Tayub, Legong Bali, atau tari hiburan lainnya di Nusantara, , juga tidak memperlihatkan pengaruh Bali /Jawa seperti pada umumnya kesenian yang ada di Banyuwangi..
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin sebuah budaya rural /pedalaman mengenal pakaian se formal dan sebagus itu ?
Gandrung dan kebudayaan yang dibawa armada Cheng Ho.
Ketika saya training ke Jepang, saya melihat gerakan yang dilakukan oleh bhiksu di Kuil2 Budha ternyata sama dengan yang saya lihat pada tarian gandrung sepuh ( patah2, atau pantomin) dalam pementasan Bpk Dedy Luthan maupun , yaitu gerakan mengangkat tangan setinggi muka, sambil menunduk, dan menekukan lutut kaki dengan mengucapkan Ami Tabha.Begitu juga saya melihat gerakan itu di Korea, Hong Kong ,Malaysia, dan juga saya temui pada tetangga anak saya di Singapore seorang penganut Budha yang saleh .Oleh karena itu saya melacak gerakan tersebut pada khasanah Budhis apalagi setelah ditemukan penemuan patung Budha di gumuk Tingkil Banyuwangi.
Ternyata pada Dynasti Ming., agama Budha berkembang sangat pesat.
Dan pada masa ini ditulis karya sastra yang monumental/besar “Shi Yu” oleh Pujangga Wu Cheng , sebuah novel yang menceritakan perjalanan Bhiksu Budha Thon Sam Chong mencari kitab suci Budha . Novel ini memberi inspirasi dan motivasi kepada bangsa China sejak karya itu ditulis maupun sampai saat ini dimanapun bangsa China berada.
Oleh karena itu karya pujangga Wu Cheng . “Shi You” , dapat dipastikan menjadi mantera atau trigger yang sangat kuat pada armada Laksamana Cheng Ho dalam melakukan muhibah yang spektakular itu, mereka tidak saja mengerti dan menghayati novel tersebut, tetapi mereka juga mengagumi dan mengabadikan karya sastra tersebut.
Dalam pustaka modern novel tersebut dikenal dengan “Journey to the west”, sedang orang China saat ini mengenalnya sebagai Sun Go Kong/ Cerita Monyet yang Lincah.
Sayang dalam cerita yang berkembang sekarang ini justru peran Bhiksu Tong/ Thon Sang Chong kurang diperhatikan. , dan yang diperhatikan malah Sun Go Kong (Monyet Lincah itu), padahal monyet ,babi dll yang mengiringi perjalanan bhiksu Thon Sang Chong, sebenarnya hanya visualisasi /fable dari watak yang dimiliki manusia.
Tetapi rupanya rombongan armada Laksamana Cheng Ho, yang tertinggal di Cungking Banyuwangi, tetap mempertahankan dengan sekuat hati inti cerita tsb , dengan mempertahankan peran utama bhiksu Thon, dalam drama tari yang indah meskipun menghadapi gempuran zaman, dalam bentuk transformasi budaya yaitu “ Gandrung ‘” Banyuwangi.
Inilah persamaan Gandrung Banyuwangi dan karya sastra pujangga Wu Cheng “ Shi Yu’
1. Pakaian yang digunakan sangat mirip dengan pakaian Bhiksu tingkat tinggi yang memimpin upacara. Pakaian itu tentu mengalami anomaly dan distorsi maupun penyesuaian. Tetapi ciri pakaian Bhiksu China / pakaian drama China masih nampak jelas.
2. Gandrung , dan novel” SHI YU” , keduanya terdiri tiga babak.
Pada babak pertama Biksu Thong melakukan sembah berpamitan kepada seluruh ummat dan penguasa untuk minta restu melakukan perjalanan, yang antara lain dilakukan dengan mengangkat tangan setinggi muka dan menekukan kaki sambil mengucapkan syair pujian, sedang gandrung pada Jejer juga melakukan gerakan pantomin/patah adengan suasana khusyuk yang hanya diiringi melody dengan syair yang masih sulit dipahami , kecuali lagu pembukaan “Pada Nonton”.
Pada babak kedua novel “ Shi Yu” , menceritakan bhiksu Thong mendapat ,serangan, gangguan mulai dari musuh , perampok ganas yang tidak menginginkan suksesnya perjalanan tersebut,tetapi bhiksu Thong tetap mengajak mereka pada jalan kebaikan ,sedang dalam Gandrung ,babak kedua Paju adalah kesempatan para penonton memamerkan kemampuan silat baik kepada Gandrung maupun antara penonton dengan penonton disertai syair nasehat dan pengarahan .Hanya pada zaman Belanda babak ini terjadi distorsi dan anomaly, gerak pertempuran menjadi gerak rayuan dan syair nasehat dan pengarahan menjadi syair erotis . Hal ini bisa dipahami karena di Cungking/Glagah pada zaman Belanda menjadi tempat tahanan /celong para pemberontak/ preman /bajingan yang berasal dari seluruh Indonesia, dan ketika itu mereka menganggap kesenian gandrung (Gandrung Lanang)sebagai tarian hiburan dan lebih parah lagi ketika pejabat Belanda(1895) memaksa mbak Midah perias gandrung,untuk menampilkan putrinya Semi sebagai gandrung yang menghibur ,(era gandrung perempuan) .
Pada babak ketiga novel “Shi Yu” bhiksu Tong telah menemukan Kitab Suci/SUTERA Budha dan mulai membacakan syair SUTERA kepada ummatnya, sedang pada Gandrung, babak ketiga /Seblang, dilantunkan syair yang mendayu, mengharu biru, tanpa iringan musik, membuat suasana syahdu,sehingga gandrung, pemanjak/niyogo dan menonton duduk tafakur.( mbak perempuan selalu mengajak saya menonton babak ini, beiau duduk menangis tersedu sedu….dan menerangkanbahwa dia sedang mohon ampun pada Yang Maha Kuasa).
Inilah salah satu kutipan lagu SEKAR JENANG pada buku repertoirnya.
Sekar sekar Jenang .Maondang dadari kuning
Temuruno ageng alit .Kaulo nyuwun Sepuro
Layar layar kumendung .Ombak umbul ring segoro
Segorone tuan Agung .Tumenggung numpak kereto
Lilir liliro kantun.Sang kantun liliro putro
Sapanen dayoh riko.Mbok srungkubo milu tomo
Lilir lilir gile.Sabuk cinde ring gurise
Kakang kakang ngeliliro.Sawah bondo ring seloko
Terjemahan bebas dari penulis
Kuletakan bunga persembahan.Ketika purnama sedang penuh
Duhai saudaraku .Dengarlah permohonan maaf saya
Ketika fajar pagi menembus awan.Ombak dilautan bergelombang tenang
Lautan menampakkan kebesarannnya.Layaknya seorang pembesar naik kereta
Janganlah pernah berputus asa.Dikaulah yang mampu membangkitkan
Kembangkan tanganmu , menerima kebaikan.Pegang teguh ,keutamaan
Bangkit bangkitlah segera.Berita kemegahan telah Nampak
Duhai saudaraku bangkitlah.Kemakmuran adalah harapan kita.
Karena itu pantaslah seorang seniman nasional Bpk Dedy Luthan kesulitan menerjemahkan maksudnya yang dikandung dalam syair di Seblang,karena ini adalah bahasa kitab suci Budha./Sutera. Maka jelaslah sudah makna kata kata penari Gandrung Cungking, ketika diwawancara pejabat Dit Jen Nilai Budaya Seni dan Film,bahwa menari Gandrung ini adalah IBADAH. Dia akan tetap melakukan walau hal itu tanpa merubah nasibnya dari himpitan hidup dan tiada penghargaan dari khalayak.Meskipun dia tidak mengerti syair tsb , tetapi nilai nilai akan tetap mengalir dalam hatinya, dan terwariskan .
Kesimpulan.
1.Berdasarkan argument tersebut diatas , saya berhypotesa bahwa penduduk Cungking Banyuwangi, adalah sisa 2 prajurit yang mengiringi Laksamana Cheng Ho, yang terjebak dalam perang Paregreg, dan tidak dapat kembali ke Chung King, kemudian menetap di Banyuwangi. Sebagai bagian utusan muhibah Dynasti Ming, sebuah kerajaan yang besar mereka tetap memelihara kebudayaannnya yang berasal dari novel monumental pujangga Wu Cheng “ Shi Yu” dalam bentuk drama tari tunggal “ Gandrung”.
Drama tari ini tetap dipertahankan walau mendapat gempuran budaya dari ,orang yang ditahan/dicelong Belanda didaerah Glagah, maupun penjajah Belanda yang tidak memahami tari gandrung. Karena image yang jelek ini penduduk Banyuwangi juga melakukan hal yang sama .
Tetapi karena kesenian Gandrung adalah bagian dari sejarah orang Cungking, dan nilai kehidupannya maka kesenian tersebut tetap exist sampai saat ini. Maka benarlah theory tentang Kebudayaan/ Kesenian yang menyatakan bahwa kesenian yang mempunyai nilai hystoris dan menyangkut nilai , akan tetap exist walau dunia telah berubah dan tidak ada seorang penontonpun yang melihatnya.
2.Dengan dua tulisan ( Apakah wangsa Arya leluhur orang Banyuwangi dan tulisan ini) ,maka di Banyuwangi ada dua suku penduduk asli yang masih terlacak sumbernya. Orang Cungking yang berasal sisa armada Laksamana Cheng Ho dan orang asli Blambangan.( sedang dipersiapkan tulisan” Transformasi orang asli Blambangan menjadi orang Banyuwangi , study kasus desa Alasma.